STOP PEMBODOHAN MAHASISWA

          Prilaku represif dari birokrasi kampus saat ini juga mencerminkan watak dari birokrasi kampus yang semakin otoriter. Dari semua tindakan birokrasi kampus tersebut memiliki kesamaan pola, yaitu dengan berbagai macam peraturannya (SK Rektor, SK. Dekan, peraturan kampus), dan terkadang lebih parahnya lagi ada anggapan bahwa aktifitas mahasiswa untuk memperjuangakan hak-haknya, dan mengkritik kebijakan kampus adalah tindakan yang mencemarkan almamater, dan nama baik perguruan tinggi. Hal ini tentu saja amat sangat disayangkan, tanyakan pada diri kita sendiri sebagai mahasiswa dimanapun kita menuntut ilmu; UNAND kah, UNP kah UNM kah atau bahkan STMIK , Perguruan Tinggi adalah tempat kita menjadi agent of change bukan? Perubahan yang dilakukan tentu harus sesuai hakikat kita sebagai agent of change  dan mau tidak mau harus pro terhadap mahasiswa. Karena mahasiswa adalah manusia pemikir yang mempunyai hak-hak untuk ikut serta berjuang dan menyampaikan aspirasi terbaik yang semuanya demi kemajuan bersama dari intra-kampus hingga ekstra-kampus mulai dari dalam hingga diluar kampus.

         Dalam pendidikan yang demokratis dimana manusia diarahkan untuk mengenali realitas dirinya dan dunianya, seharusnya menempatkan mahasiswa sebagai subyek pendidikan, dimana mahasiswa terlibat dalam menentukan apa dan bagaimana proses pendidikan di Perguruan tinggi dilaksanakan. Dengan prinsip tersebutlah pendidikan akan berfungsi untuk menjawab berbagai persoalan yang dihadapi oleh rakyat. Untuk mewujudkan hal tersebut tentunya mahasiswa membutuhkan ruang untuk berekspresi, mengembangkan kemampuan dan pemahamannya, serta berpendapat tentang realitas sosial yang dihadapinya dan berorganisasi sebagai cara untuk memperjuangkan hak-haknya.

       Hak setiap warga negara untuk berekspresi, berpendapat dan berorganisasi sebenarnya sudah menjadi Hak Asasi Manusia yang diatur didalam Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM) serta diatur didalam UUD 45 pasal 28, hal inilah yang menjadi landasan bahwa mahasiswa tentunya juga mempunyai hak dalam mendapatkan kebebasan untuk berekspresi, berpendapat dan berorganisasi.. Maka menjadi hal yang mutlak bahwa kebebasan, berekpresi, berpendapat dan berorganisasi, menjadi suatu keharusan dari suatu proses demokratisasi. Dengan adanya kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berorganisasi maka kesadaran mahasiswa akan peranannya didalam kampus tentunya akan meningkat.

       Akan tetapi realitas pendidikan di Indonesia ternyata sangat jauh dari proses memanusiakan manusia. Kenyataan pendidikan Indonesia yang perlahan-lahan akan masuk dalam cengkraman Imperialisme menjadi akar permasalahan yang mendorong perguruan tinggi menjadi sangat anti dengan kebijakan-kebijakan yang kontra, terlebih lagi ketika aktifitas mahasiswa tersebut merupakan bentuk reaksi mahasiswa yang merasa hak-hak normatifnya belum dipenuhi oleh birokrasi kampus. Hal ini dapat dilihat dari beberapa kasus pengekangan terhadap kebijakan itu sendiri,  terjadi dibeberapa perguruan tinggi.

     Badan Hukum Pendidikan (BHP) sebagai bentuk perusahaan yang beroperasi di sektor pendidikan, sebagia perbandingan; layaknya seperti perusahaan yang tidak menginginkan buruh berorganisasi untuk memperjuangkan kesejahteraan karena akan mengurangi keuntungannya. Dari hal tersebut dapatlah dilihat bahwa represifitas yang semakin marak terjadi di kampus, juga terjadi seiring dengan proses persiapan kampus dalam “memodernisasi” dirinya dengan berbagai kebijakan baru sebagai bentuk persiapan mereka mengejar syarat-syarat dari BHP. Upaya tersebut dilakukan tentunya tanpa memperhatikan kondisi obyektif, seperti  biaya kuliah yang meningkat ditengah kemiskinan negeri kita ini. Hal inilah yang menyebabkan meningkatnya aksi-aksi mahasiswa di kampus sebagai bentuk reaksi dari pertentangan kepentingan kampus dengan kemampuan dan harapan masyarakat atas pendidikan tinggi.

         Setidaknya untuk mewujudkan kebebasan berekspresi, berpendapat dan berorganisasi tentunya tidak dapat diperoleh tanpa melalui proses perjuangan. Selain dari kebijakan negara dan birokrasi kampus situasi yang menghambat diwujudkannya kebebasan berekspresi, berpendapat, dan berorganisasi adalah terpisah-pisahnya perjuangan organisasi mahasiswa saat ini, mitos bahwa organisasi ekstra mengancam keberadaan organisasi intra sebenarnya tidak terbukti, kenyataannya bahwa cukup banyak pimpinan-pimpinan organisasi intra kampus berasal dari organisasi “ekstra” (diluar birokrasi kampus). Hal ini menunjukan bahwa organisasi ekstra memang memberikan kontribusi terhadap sistem demokrasi didalam kampus. Artinya keberadaan organisasi ekstra-lah yang menghidupkan dinamika demokrasi didalam kampus.

       Tanpa disadari apa jadinya kalau kampus hanya menjadi kantin bagi anak muda tanpa “activation of expression” yakni pergerakan untuk dapat berekspresi dan menunjukkan jati diri sebagai front terdepan dari anak muda yang memiliki cukup kemampuan dan intelektualitas. Kebutuhan akan kebebasan hak-hak mahasiwa seperti berekspresi, berpendapat, dan berorganisasi harus disadari merupakan kebutuhan massa mahasiswa dalam memperluas dan memperkuat perjuangan bersama dalam menghadapi berbagai macam tekanan, dan pengaruh dari Birokrasi. Dengan mendorong kebebasan berekspresi, berpendapat dan berorganisasi maka upaya untuk mendapatkan kemenangan-kemenangan kecil dikampus juga akan berlangsung dengan demikian secara labih jauh lagi perjuangan demi perubahan kontra-mahasiswa yang terjadi akan dapat proyeksikan sebagai kemenangan seluruh demokratisasi bangsa ini dari sudut pandangan mahasiswa itu sendiri sebagai lidah penyambung aspirasi rakyat dengan pimpinannya

0 komentar:

Posting Komentar

 
Powered by Blogger